Orang yang tidak tahu apa-apa, tidak mencintai apapun

Monday, April 13, 2009

Foto Bambang Sabirin

Sunday, April 12, 2009

Pendidikan Hati

Dikutip dari sebagian isi Bab III buku “Cinta Bagai Anggur”, dengan seijin penerbit.

Selama engkau tidak menceraikan dunia dan segala sifat keduniawiannya, kau tidak akan pernah mengenal Tuhan. Pada persoalan ini, kau harus memahaminya dengan sangat berhati-hati! Nabi Isa a.s. adalah Nabi yang menjadi contoh pelepasan diri dari dunia material secara sempurna. Di sisi lain, kau juga mengenal seorang nabi besar lain, Raja Sulaiman a.s. Beliau adalah manusia yang paling kaya dari yang terkaya, juga yang paling berkuasa.
Intinya adalah menceraikan dunia dengan qalb. Kemiskinan materi bukanlah inti persoalannya.

SEORANG sufi besar, Ibrahim bin Adham rah. [1] sebelumnya adalah sultan kerajaan Balkh. Dia tinggalkan kedudukannya sebagai raja di dunia ini demi merajai kehidupannya yang berikutnya.
Teladan dari beliau mengilustrasikan bahwa selama ini kita mungkin mengira bahwa kitalah pihak yang mencari dan mendapatkan, namun sebenarnya tidak demikian. Sebenarnya Allah-lah yang mencari kita, dan kita semata-mata hanya menjawab panggilan-Nya saja.

Pada tingkatan kita sekarang, seringkali kita tidak segera memutuskan untuk memenuhi undangan Allah. Kita menunda. Kita mempertimbangkan dan merenungkannya.
Dahulu Ibrahim bin Adham pun memiliki banyak pertimbangan. Ia sangat ingin menjadi seorang pejalan sehingga bisa mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengenal diri dan mencari Tuhan, namun demikian banyak yang harus ia korbankan. Ia harus meninggalkan seluruh kerajaannya, juga meninggalkan statusnya sebagai seorang sultan. Padahal, undangan telah datang—Allah telah memanggilnya. Tapi ia belum siap untuk menjawab, “Inilah hamba, ya Allah.” Hanya itu yang perlu kau katakan, “Inilah hamba; hadir, menunggu kehendak-Mu.”
Mengingat Allah[2] adalah salah satu hal yang paling mendasar dari banyak ibadah penting di jalan sufi. Mengingat Allah itu sebenarnya —penjelasan yang sesederhana mungkin— adalah sama dengan menjawab, “Inilah hamba. Hadir, menunggu kehendak-Mu.” Dan Ibrahim bin Adham, ketika itu, belum mampu mengingat Allah. Ia belum mampu “menjawab”. Namun, Allah telah mengundang Ibrahim bin Adham untuk datang kepada-Nya.

Suatu malam, sultan tengah tertidur di pembaringan bulu miliknya, dengan sprei sutra dan selimut-selimut yang paling indah. Mendadak bermunculan perasaan dalam hatinya, “Aku harus pergi. Aku harus meninggalkan ini semua. Harus!” Lalu tiba-tiba saja ia mendengar berbagai suara aneh yang berasal dari atap istananya. Ia buka jendela dan berteriak, “Siapa itu? Sedang apa kau di atas sana?” Terdengar sebuah suara menjawab, “Kami sedang membajak tanah.” Ibrahim bin Adham pun berkata, “Jawaban macam apa itu? Bagaimana bisa kau membajak tanah di atap istana?” Dan suara itu menjawab, “Ah, kalau kau pikir dengan berbaring di atas lembaran-lembaran sprei sutra engkau bisa menemukan Tuhan dari tempat tidurmu, kenapa membajak tanah di atap istana tidak bisa?”

Kau harus mengupayakan usaha-usaha keras tertentu, dan menanggung beban-beban penderitaan tertentu. Allah lebih dekat kepadamu daripada engkau kepada dirimu sendiri. Allah berfirman, “Terdapat tujuh puluh ribu hijab di antara engkau dengan Aku, tetapi tidak ada hijab antara Aku terhadapmu.” Allah lebih dekat kepadamu daripada kedekatanmu pada dirimu sendiri.
Kalau kau tidak berpikir tentang Tuhan seperti ini, kau boleh mencari di seluruh alam semesta dan tidak akan menemukan Tuhan, seperti seorang kosmonot Rusia yang pernah mencari Tuhan di luar pesawat antariksanya dan mengatakan, “Ah, saya tidak melihat Tuhan di atas sana.”
Seharusnya dia mencari Tuhan dalam dirinya sendiri.

Sesuatu yang begitu dekat denganmu akan sulit terlihat, karena ia terlalu dekat. Demikian pula, sesuatu yang begitu jauh, sulit untuk bisa terlihat. Suatu ketika, sekelompok ikan kecil mendatangi seekor ikan besar dan bertanya, “Kami dengar ada lautan di suatu tempat, entah di mana. Tolong, maukah Anda menunjukkan lautan pada kami?” Ikan besar pun menjawab, “Kalau demikian, mau tak mau kalian harus keluar dulu dari lautan.”

Jadi, apakah engkau harus keluar dari kebenaran untuk melihat kebenaran? Semoga Allah Al-Haqq, suatu saat berkehendak untuk menunjukkan kebenaran-Nya kepadamu.
Tapi persoalannya, tidak ada sesuatu pun selain Al-Haqq. Jadi engkau tak mungkin bisa keluar dari Al-Haqq agar mampu melihat Al-Haqq. Seperti ikan-ikan tadi yang tidak mungkin mampu keluar dari air agar bisa melihat air.
Allah berfirman, “Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri.”[3] Sedekat itulah Allah kepadamu—di dalam dirimu dan sepenuhnya meliputi dirimu. Segala yang ada di sekelilingmu, sebenarnya adalah Allah. Engkau seperti ikan di lautan. Kau tidak bisa melihat Allah, kecuali jika Dia berkehendak agar diri-Nya tampak kepadamu. Dan Allah akan kau kenali dengan cara yang berbeda dari pengenalan yang orang lain alami. Jadi, engkau tidak akan pernah bisa menyampaikan seluruh pengenalan yang kau alami kepada orang lain.
Allah Yang Maha Tinggi, yang tidak termuat oleh seluruh lelangit dan bumi, ternyata menemukan tempat di qalb hamba-hamba yang mu’min.[4] Pengalaman tentang Dia, datang dari dalam qalb-mu sendiri. Allah akan tampak padamu sesuai dengan potensimu, sesuai dengan kapasitasmu. Berbeda-beda pada setiap kita masing-masing.
Di kali yang lain, Ibrahim bin Adham pergi ke luar istana untuk bersantap di alam terbuka. Ketika makanan dihidangkan di hadapannya, tiba-tiba seekor burung gagak menukik turun dan menyambar rotinya. Sultan pun segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengikuti gagak itu. Mereka melompat ke punggung kudanya masing-masing dan segera mengikutinya, hingga gagak itu turun ke sebuah tempat di mana ada seorang laki-laki terikat pada sebatang pohon. Gagak itu sedang menaruh roti ke mulut lelaki tersebut.

Para pengawal melaporkan kejadian itu kepada Sultan, yang kemudian mendatangi lelaki itu dan bertanya, “Siapa kau? Apa yang telah terjadi padamu?” Lelaki itu pun menjawab, “Aku adalah seorang dari kafilah dagang, dan para perampok merampas semua yang kumiliki. Aku sudah terikat didi sini selama berhari-hari. Setiap hari burung hitam ini membawakan makanan dan menaruhnya ke mulutku. Ketika aku haus, ada awan kecil yang terbentuk dan menurunkan hujannya tepat ke mulutku.”
Seperti Nabi Isa a.s. telah mengatakan, perhatikanlah burung-burung. Mereka berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, dan Tuhan menyediakan makanan bagi merek.a. Kemudian, pada malam hari mereka kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang. Mereka tidak perlu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan mereka. Di sini, Allah menunjukkan kepada Ibrahim bin Adham bahwa ia benar-benar tidak perlu untuk membiarkan dirinya terikat kepada kesultanannya, kepada dunia ini. Semua kebutuhannya, Allah-lah yang akan menyediakannya.

Nabi Isa a.s. melepaskan dunianya. Ia sepenuhnya menceraikan dunia ini. Sehingga, seluruh kepemilikannya hanya terdiri dari dua benda: sisirnya yang biasa ia pakai untuk menyisiri janggutnya, dan sebuah cangkir yang digunakannya untuk minum.
Pada suatu hari, Nabi Isa a.s. melihat seorang lelaki tua yang sedang menyisiri janggutnya dengan jemari tangan, sehingga beliau pun membuang sisirnya. Kemudian ia melihat seorang lelaki lain sedang meminum air dari tangkupan kedua tangannya, dan beliau pun membuang cangkirnya.

Selama engkau tidak menceraikan dunia dan segala sifat keduniawiannya, kau tidak akan pernah bertemu dengan Tuhan. Pada persoalan ini, kau harus memahaminya dengan sangat berhati-hati! Nabi Isa a.s. adalah Nabi yang menjadi contoh pelepasan diri dari dunia material secara sempurna. Di sisi lain, kau juga mengenal seorang nabi besar lain, Raja Sulaiman a.s.. Beliau adalah manusia yang paling kaya dari yang terkaya, juga yang paling berkuasa; baik di dunia ini maupun di alam-alam lainnya. Nabi Sulaiman adalah raja bagi kalangan manusia, jin dan hewan; dan bagi segala sesuatu yang mengandung unsur udara, tanah, air maupun api. Dunia menjadi penghalang antara dirimu dan Tuhan selama hatimu terikat pada apa-apa yang kau miliki. Kalau engkau memiliki segala yang kau inginkan tapi tanpa itu semua pun kau sama sekali tidak bermasalah, itu tidak apa-apa. Di sisi lain, kalau kau tidak memiliki apa pun selain sebuah kepala ikan asin, tapi hatimu masih terikat kepada kepala ikan asin itu, maka engkau terikat kepada dunia ini. Intinya adalah menceraikan dunia dengan qalb.[5] Kemiskinan materi bukanlah inti persoalannya.


Ibnu ‘Arabi rah.[6] yang di kalangan para akademisi sering digelari as-Syaikh al-Akbar[7] semasa perjalanannya di Tunisia pernah bertemu dengan seorang nelayan pengabdi Tuhan yang memilih untuk menjalani cara hidup yang sangat sederhana. Nelayan itu tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari lumpur kering. Setiap hari ia melaut dengan perahunya untuk menangkap ikan dan seluruh hasil tangkapannya hari itu akan ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Ia sendiri hanya mengambil sepotong kepala ikan untuk direbus, sebagai makan malamnya yang sangat sederhana.
Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu ‘Arabi, dan selang berlalunya waktu ia sendiri pun ternyata menjadi seorang syaikh. Kemudian, pada suatu ketika, salah seorang murid dari nelayan itu harus mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu lalu meminta muridnya menemui Ibnu ‘Arabi untuk memintakan nasihat bagi dirinya. Sang nelayan, yang merasa bahwa telah bertahun-tahun ini perkembangan jiwanya tidak lagi mengalami kemajuan, membutuhkan nasihat dari Ibnu ‘Arabi.

Ketika si murid sampai di kota tempat tinggal Ibnu ‘Arabi, segera ia menanyakan tempat di mana ia bisa menemui beliau. Orang-orang di kota menunjuk ke puncak bukit, ke sebuah puri yang tampak seperti istana, dan mengatakan bahwa di sanalah tempat tinggal Ibnu ‘Arabi. Dia sangat terkejut melihat betapa tampak sangat duniawinya kehidupan Ibnu ‘Arabi, apalagi jika dibandingkan dengan guru tercintanya sendiri, yang hanya seorang nelayan sederhana.
Dengan enggan ia melangkahkan kakinya ke arah puri itu. Sepanjang perjalanan ia melalui ladang-ladang yang terawat baik, jalan-jalan yang indah, dan kumpulan-kumpulan domba, kambing, dan sapi. Setiap kali ia bertanya, ia selalu memperoleh jawaban bahwa pemilik semua ladang, lahan, dan ternak itu adalah Ibnu ‘Arabi. Ia bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang sangat materialis seperti itu bisa menjadi seorang sufi terkemuka.

Sesampainya di puri, apa yang paling ditakutinya terbukti. Di sana terlihat kekayaan dan kemewahan yang belum pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpi-mimpinya. Dindingnya terbuat dari marmer dengan ornamen yang diukir dan disusun. Lantainya ditutupi karpet-karpet yang tak ternilai. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra, yang bahkan lebih indah dari pakaian orang-orang yang paling kaya di kampungnya. Ketika menanyakan Ibnu ‘Arabi, dikatakan kepadanya bahwa majikan mereka sedang mengunjungi khalifah[8] dan akan segera kembali. Setelah menunggu sebentar, tak lama kemudian terlihatlah olehnya sebuah arak-arakan yang mendatangi puri tersebut. Awalnya tampak pasukan kehormatan dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, duduk di punggung kuda-kuda Arab yang indah. Kemudian terlihatlah Ibnu ‘Arabi, dalam jubah sutra yang luar biasa, mengenakan sorban yang layak untuk menjadi sorban seorang sultan.

Ketika si darwis muda telah diantar menghadap kepada Ibnu ‘Arabi, para pelayan lelaki yang tampan dan gadis-gadis pelayan yang cantik segera membawakan mereka kopi dan kue-kue. Si darwis muda pun menyampaikan pesan gurunya. Ia begitu terkejut dan geram ketika Ibnu ‘Arabi mengatakan kepadanya, “Sampaikan kepada gurumu, masalah dirinya adalah bahwa ia masih terlalu terikat kepada keduniawian.”
Sekembalinya ia ke kampungnya, gurunya ingin sekali mendengar hasil perjalanannya, apakah ia telah bertemu dengan al-Syaikh al-Akbar. Dengan enggan ia menjawab bahwa ia memang telah berhasil menemuinya. “Nah, bagaimana, apakah beliau menitipkan nasihat untukku?”
Sang darwis mencoba untuk menghindar dari keharusan mengulangi teguran Ibnu ‘Arabi kepada gurunya. Nasihat itu dirasakannya sungguh tidak pantas, mengingat betapa berlimpahnya kemewahan Ibnu ‘Arabi dan begitu asketiknya kehidupan gurunya. Di samping itu, ia khawatir akan membuat gurunya tersinggung dengan mengucapkan kembali nasihat yang semacam itu.
Sang nelayan terus memaksanya bercerita, hingga akhirnya si darwis muda menyampaikan juga apa yang dikatakan Ibnu ‘Arabi kepadanya. Meledaklah tangis sang nelayan mendengar teguran Ibnu ‘Arabi kepadanya. Muridnya, darwis muda itu, terheran-heran dan bertanya, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi, yang hidup dalam kemewahan seperti itu, berani menasihati gurunya bahwa ia masih terlalu terikat kepada keduniawian. “Ia benar!” kata si nelayan, di sela-sela tangisnya. “Ia sungguh tidak peduli sama sekali dengan semua yang ada padanya. Sementara aku, ketika setiap malam menyantap kepala ikan, aku masih saja berharap seandainya saja kepala ikan itu adalah seekor ikan yang utuh.” []

Wednesday, July 19, 2006

SYAHADAT

S Y A H A D A H


" Katakanlah, "Hai ahli Kitab, marilah kita kepada kalimat
yang sama antara kami dan kamu yaitu bahwa TIDAK ADA YG
KITA SEMBAH SELAIN ALLAH, dan tidak kita mempersekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun juga. Dan tidak pula sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
dari Allah. Maka jika, mereka berpaling katakanlah,
SAKSIKANLAH BAHWA SESUNGGUHNYA KAMI ADALAH MUSLIM"
( Ali 'Imran: 64)


Pemahaman tentang syahadah, sebagai pilar utama dienul Islam,
menjadi urgens, apalagi ketika pendekatan fiqhiyah mendominasi
kaum Muslimin dalam memahami diennya. Padahal fiqh dan cabang-
cabang tsaqofah Islamiyah itu sendiri berpangkal pada syahadah
ini. Bahkan secara umum tsaqofah islamiyah bertumpu pada tsaqo-
fah ta'hiliyyah (doktrin-doktrin Islam). Karenanya tak heran
kalau akhirnya muncul kontradiksi-kontradiksi yang mengenaskan.
Perdebatan tentang fiqh shallat hangat dan kadang mengalahkan
hangatnya ukhuwah. Padahal seselai shallat kaum Muslimin berdo'a
"Allahumaghfir lil Muslimina wal Muslimat..."
"Robbana firlana wali ikhwanina..."
memohon ampunan bagi seluruh kaum Muslimin dan saudara-saudara
seiman. Dalam shallat kita bersumpah;
"Sesungguhnya shallatku, ibadahku, hidupku, dan matiku aku serahkan
kepada Rabb semesta alam".
Dalam shallat kita menutup aurat secara rapi.
Dalam shallat kita membesarkan hanya nama Allah,
dalam shallat di surat al fatihah kita memohon kepada Allah agar
ditunjuki jalan yang lurus, jalan para Nabi, shidiiqiin, shalihin,
dan syuhada, dalam shallat kita berjanji untuk meminta tolong hanya
kepada Allah, dan menyembah hanya Allah saja.
Lalu setelah selesai shallat?
Bagaimana sikap kita dengan teman dan saudara seiman lainnya?
Waktu kita, hidup dan mati kita, benarkan untuk Allah dan perjuangan
menegakkan dien-Nya ?
Aurat, jilbab, disimpan dimana?
Nama Allah atau nama universitas, suku, ras dll yang masih kita
agungkan?
Lalu jalan lurus yang telah tersedia kenapa dimohonkan saja
dan tidak ditapaki?
Benarkan kita hanya menyembah Allah saja dengan asyaddu hubalillah
cinta yang bersangatan, mengalahkan cinta-cinta kita kepada selain
Allah?

Inilah kontradiksi lebar yang ada. Dimana syahadah kita belum
menempati maknanya yg utuh dalam jiwa. Syahadah masih samar dalam
merah darah kita dan tidak mensibghah (mewarnai) hati kita.
Karena kita jahil terhadapnya, kita bodoh dan tidak mensikapinya
secara tepat. Karenanya tak heran manakala seorang Muslim bercermin
dalam cermin dien, yang muncul adalah wajah centang-perentang.
Antara Islam dan Muslim (sebagai pelaksana Islam), antara jalan
hidup dan orang yang memasrahkan diri untuk berpedoman dengan jalan
itu tidak matching. Tidak muncul wajah anggun Islam dalam diri
Muslim sebagai pribadi atau secara kolektif dalam pentas peradaban
masa kini. Yang ada adalah seorang Muslim yang menerima sebagian
Islam dan menolak bagian lainnya, seorang Muslim yang memandang Islam
dengan kacamata dari luar jati diri dien ini, yang menganggap Islam
hanya sebagai urusan pribadi dan dia sebagai pribadi tak ada pembelaan
apa-apa terhadap urusan dien ini, seorang muslim formal yang nominal.
Tandasnya, Muslim tidak sama dengan pelaksana Islam. Sungguh paradox
yang mengenaskan.

Maka tak ada pilihan bagi kita selain kembali kepada jati-diri
kita sebagai pelaksana syahadah, orang yang terikat perjanjian dengan
Allah. Dalam titik ini kita temui urgensi kembali pada pemahaman
syahadah yang lurus.



DUA PULUH FENOMENA KEKUFURAN YANG MEMBATALKAN SYAHADATAIN

Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Alhamdu lillahi nasta'iinuhu wa nastaghfiruhu,
wa na'udzu hillahi min syuruuri anfusinaa
Asyhaadu allaa ilaaha illallahu,
wa asyhaadu anna muhammdaan 'abduhu wa rasuluh
Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa aalihii wa ashhabihi aj'main
Ammaa ba'du, uushiikum wa nafsii bitaquwallahi faqad faazalmuttaquun


Dua puluh hal cipta karsa, dan karya manusia yang justru
membatalkan keimanannya, pada syahadatain dan menjerumuskannya
menjadi kafir.

1. BERTAWAKKAL DAN BERGANTUNG PADA SELAIN ALLAH.

Berdasarkan firman Allah:

"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika
kamu benar-benar orang yang beriman."
[Al-Maidah: 23]

"Sesungguhnya Allah telah tolong kamu di beberapa banyak
tempat dan pada peperangan Hunain, tatkala kamu sombong
dengan banyaknya kamu, tetapi tidak berfaedah bagi kamu
sedikitpun, dan (jadi) sempit bagi kamu bumi yang luas
itu, kemudian kamu berpaling sambil mundur."
[At-Taubah: 25]

Dalil ni berpedoman pada pengertian LAILAHAILALLAH yang
maknanya antara lain tidak akan melakukan permohonan untuk kete-
tenangan dan kekuatan selain kepada Allah SWT.

Tawakkal bukan berarti meninggalkan kerja. Bahkan Allah
SWT menyuruh kita untuk bekerja, tetapi kita dilarang menggan-
tungkan hidup kita pada pekerjaan itu. Allah telah menyuruh mem
persiapkan perlengkapan perang, tetapi Allah juga menyuruh kita
untuk menggantungkan segala kehidupan kita hanya kepada-Nya.
Allah menyuruh kita bekerja dan berusaha, tetapi Ia juga menyu-
ruh kita beriman bahwa Dialah yang memberi rezeki. Dia menyuruh
kita berobat, tetapi dengan syarat kita berkeyakinan bahwa yang
menyembuhkannya hanyalah Allah SWT. Ringkasnya, barangsiapa
yang berkerja, berusaha dan berikhtiar dengan tidak bertawakkal
dan bergantung pada Allah, ia telah merusak syarat tadi. Seba-
liknya orang yang bertawakkal dan bergantung kepada Allah, tapi
tanpa daya usaha, juga ia telah merusak salah satu syarat tadi.

Dari sini dapat diandaikan suatu perbedaan antara orang
kafir dan orang mukmin. Orang kafir, ia membanting tulang dan
mengerahkan segala tenaga dan berusaha, orang mukmin juga memban
ting tulang dan mengerahkan segala tenaga serta berusaha, tetapi
orang-orang kafir, ia tidak menggantungkan harapannya kepada
Allah, bahkan ia menggantungkan pada usahanya. Sebaliknya seo-
rang muslim di samping usahanya tersebut ia menggantungkan sega-
la harapannya kepada Allah SWT.

Bergantung dengan SEBAB dan melupakan bahwa yang mengi-
zinkan SEBAB itu berproses adalah Allah adalah maskiat. Bergan-
tung pada SEBAB dan disertai keyakinan bahwa SEBAB-SEBAB itu ti-
dak ada hubungannya dengan Allah adalah SYIRIK yang dapat meng-
hancurkan SYAHADATAIN. Dalam al-Qur'an banyak disebutkan ten-
tang masalah ini yang antara lain seperti dalam firman-Nya:

"Maka bukanlah kamu bunuh mereka, tetapi Allah yang bu-
nuh mereka; dan tidak engkau melempar waktu engkau melem
par, tetapi Allah yang melempar."
[Al-Anfal: 17]

"Tetapi kemenangan itu tidak ada melainkan dari fihak
Allah Yang gagah, Yang bijaksana."
[Ali Imran: 126]

"Sesungguhnya Allah, Ia-lah Pemberi rezeki, Yang mempu-
nyai kekuasaan, Yang sangat teguh."
[Adz-Dzariat: 58]

"Dan apabila aku sakit, maka Ia sembuhkan daku."
[Asy-Syu'ara: 80]

"Tidakkah engkau lihat bahwa Allah telah turunkan air
dari langit, lalu jadialh bumi (ini) hijau segar? Se-
sungguhnya Allah, Halus, Amat mengetahui."
[Al-Hajj: 63]

Kita harus menyakini bahwa Allah menjadikan sebab musa-
bab di dunia ada fungsinya (peranan atau tugasnya) dan harus per
caya bahwa Allah-lah yang menjadikan semua itu. Allah berfirman:

"Allah itu Pembikin tiap-tiap sesuatu; dan Ia Pemelihara
ata tiap-tiap sesuatu."
[Az-Zumar: 62]

Barangsiapa yang mengingkari sebab-sebab dan menganggap
tidak ada gunanya adalah KAFIR, sebaliknya yang meyakini bahwa
sebab-sebab itu memiliki pengaruh sendiri adalah SYIRIK.

Thursday, June 29, 2006

AL IKHLAS

Memurnikan Keesaan Allah Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 1. Katakanlah: " Dia lah Allah, Yang Maha Esa ". 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. 3. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Surat pendek ini termasuk golongan Makiyah berintikan tauhid me-murnikan keesaan Allah. Surat yang demikian penting, bahkan dalamsuatu hadits shahih dinyatakan kandungannya menyamai 1/3 Al Qur'an,dan bersama dengan surat Al Kaafirun selalu dibaca Rasulullah dalamshalat fajar. Mengapa surat pendek ini demikian berkedudukan tinggi?Jawabnya sederhana saja, bahwa " Keesaan Tuhan " yang dikandungsurat 4 ayat ini adalah misi syiar Rasulullah, inti aqidah Islam,yang terus diulang dengan tekanan-tekanan berbeda dalam Al Qur'anmulia. Katakanlah: " Dia lah Allah Yang Maha Esa, yang bergantung padanyasegala sesuatu, yang tak beranak dan tak diperanakkan, yang tak adasesuatu setara denganNya ". Setelah ayat pertama, ayat-ayat yangmenyusul hanyalah penjelas Keesaan Allah, penjelas logis yang menguat-kan hakekat esa. Surat ini mengandung nilai paling fundamental dari prinsif-prinsifdasar mengenai hakekat Islam yang agung. Nilai yang mengikat hati,membimbing, mengarahkan, dan menjadikan hati tegar terhadap berbagaitantangan hidup, tantangan dalam menghadapi lawan, tantangan dalammenghadapi kesusahan panjang yang meletihkan jiwa, dan tantangandalam menghadapi kemenangan besar. Nilai keesaan Allah, EntitasTunggal, Hakekat Tunggal, "Wujud Yang Esa". Dia adalah "Wujud Yang Esa", yang ada sebelum waktu t=0 dan akantetap ada melampaui waktu takberhingga. KeberadaanNya tanpa prosesmengada, tidak diadakan dan menjadi, sehingga Dia bukan sesuatuyang baru muncul, karenanya mustahil menjadi tiada. Dia Esa, kekal,bukan fungsi waktu. Inilah Wujud Hakiki, Wujud Yang Esa, maka tidakada hakekat selain hakekatNya dan tidak ada wujud selain wujudNya.Maka setiap yang ada (maujud), selain dari padaNya, bergantungpenuh kepadaNya, bersandar pada Wujud Hakiki itu. Selain dari YangEsa adalah maujud, makhluk, hamba, budak yang tak dapat eksistanpa bantuan, pertolongan, dan kasih-sayangNya. Keesaan Allah menegaskan posisi Khalik-makhluk; Khalik yang takbergantung dengan apapun, yang tidak memerlukan amal shaleh manusia,yang tidak memerlukan shalat dan ketaatan manusia dlsb; dan makhlukyang memerlukan Khalik, yang butuh penjagaan saat kegelapan datang,yang butuh perlindungan dari "was-was" yang datang menyelinap dandapat menikam hati, yang butuh akan shalat dan taat, agar selaluberada pada jalan yang lurus, jalan para shiddiiqiin, jalan yangterjaga. Keesaan Allah pun menegaskan kewajiban makhluk pada Khalik,keterikatan antara seorang hamba dengan Tuan, dengan Pencipta. Hatimakhluk mesti terikat dan hanya boleh mengikatkan diri pada Allah,bergantung hanya pada Allah dan merdeka terhadap yang lain, selainAllah. Loyal dan memberi loyalitas (wa'la) penuh hanya pada Allah,dan memutuskan/membebaskan (bara') dari keterikatan terhadap hawanafsu, ketakutan akan lapar, kekurangan pakaian, penguasa lalim,dan keterikatan lain selain pada Allah ( Baca postingAbu Infijaar "makna syahadah", jazakallah akhi abu infijaar ) Ketergantungan penuh pada Allah, Tuhan manusia (Rabbinnaas),penguasa manusia (Malikinnaas), Sesembahan manusia (Ilahinnaas),serta takut (roja'), cinta (mahabbah), dan menuju (ghoyyah) hanyapada Allah Rabbul alamin adalah konsekuensi logis dan menegaskanhakekat fitri eksistensi manusia. Sedang ajaran Al Islam padadasarnya tak lain untuk mengembalikan manusia pada kondisi fitrahnya(hanif) ini. Manakala kondisi fitri terjaga, maka segala jenis penghambaan;penghambaan manusia atas materi, penghambaan manusia atas manusia,dan penghambaan jenis lainnya tak akan menjadi pemandangan wajardi hari ini. Maka selamatlah hati dari setiap kabut tebal yangmenutupi, dari segala gejolak, dan dari segala kecenderungankepada selain Dia Yang Esa dalam Dzat dan Af'alNya. Hatimenjadi selamat dari penggantungan diri pada sesuatu yang maujud(penguasa, materi dlsb). Dikala hati telah melepaskan diri dariketergantungan pada selain Hakekat Yang Esa, dan tidak merasa ber-gantung kepa Wujud Hakiki itu, maka di saat itu pulalah hati ter-bebas dari segala ikatan duniawi, dan merdeka dari segala tekananmaterial (dalam segala bentuknya). Bebas dari kecenderungan danterlepas dari ketakutan. Maka tertancaplah ketenangan dalam hati,karena hati telah makrifat telah mengenal bahwa segala kecenderungan(mahabbah) yang dituntut terdapat di sisi Allah. Kepada Allah lahia mencari apa yang ia inginkan. Hati yang sudah makrifatullah,tak memerlukan pemuas nafsu, karena segala nafsu telah tertundukkanmelalui saluran yang hak--keterikatan, kedekatan hubungan denganKhalik. tak ada harap selain ridla Allah, tak ada damba selainjannah. Dan semuanya tercermin dalam da'wah dan sosok pribadi muslimyang utuh--jundullah. Agama ini menuntut manusia jalan dalam hakekatini, berdiri atas dasar tersebut dalam menjalani hidup sebagai hamba,sebagai budak, dalam menjalankan tugas sebagai khalifah Allah.Inilah keyakinan akan Allah Yang Esa, Tuhan manusia, yang bergantungkepadaNya segala sesuatu, yang tak beranak dan tak diperanakkan,dan yang tak ada seorang pun setara denganNya--tauhiddul aqidah. Wallahua'lam bishowab

AL QURAN SANDARAN HIDUP

Al-Qur`an
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.
Tampilan Al-Qur`an unik, berupa prosa berirama, puisi epik, dan simfoni dalam keterpaduan teks yang indah. Ini membuat 6236 ayat di dalamnya dapat dihafalkan oleh jutaan orang. Cara pembacaan Al-Qur`an, dalam bentuk tajwid dan tartil, merupakan seni yang berkualitas tinggi.
Isi Al-Qur`an juga unik, berupa paduan filsafat semesta, catatan sejarah, peringatan-peringatan dan hiburan, dasar-dasar hukum, serta doa-doa. Hikmah pemaduan tema dalam Al-Qur`an antara lain untuk menjaga kita untuk mempelajari berbagai hal secara berimbang dan bertahap, seperti juga cara kita menghadapi alur hidup kita dan membentuk kepribadian kita sendiri.
Al-Qur`an diturunkan ke bumi dalam waktu 23 tahun melalui Nabi Muhammad (saw) dengan perantaraan malaikat Jibril. Ayat-ayatnya dikelompokkan atas 114 surat, yang selalu divalidasi oleh Rasulullah Muhammad saw sendiri. Namun urutan peletakkan suratnya bervariasi, dalam berbagai versi mushaf. Mushaf yang banyak digunakan saat ini adalah Mushaf Utsman, yang disusun zaman khalifah Utsman ibn Affan. Urutan surat-surat dalam mushaf ini, dan jumlah ayat-ayat di dalamnya adalah sbb:
Al-Fatihah / Ummul-Qur`an, 7
Al-Baqarah, 286
Ali Imran, 200
An-Nisa`, 176
Al-Maidah / Al-`Uqud, 120
Al-An`am, 165
Al-A`raf, 206
Al-Anfal, 75
At-Taubah / Bara`ah, 130
Yuunus, 109
Hud, 123
Yusuf, 111
Ra`d, 43
Ibrahim, 52
Hijr, 99
An-Nahl / An-Ni`am, 128
Bani Israil / Al-Isra`, 111
Al-Kahfi, 110
Maryam, 99
Thaha, 135
Al-Anbiya`, 112
Al-Hajj, 78
Al-Mu`minun, 85
An-Nuur, 64
Al-Furqan, 77
As-Syu`ara, 227
An-Naml, 93
Al-Qashash, 88
Al-Ankabut, 69
Ar-Rum, 60
Luqman, 34
As-Sajdah, 54
Al-Ahzab, 73
Saba`, 54
Fathir / Al-Malaikah, 45
Yasin, 83
As-Shaffat, 182
Shad, 88
Az-Zumar / Al-Ghuraf, 75
Al-Mu`min / Ghafir, 118
Fusshilat, 30
As-Syura`, 53
Az-Zukhruf, 89
Ad-Dukhan, 59
Al-Jatsiyah / As-Syari`ah, 37
Al-Ahqaf, 35
Muhammad / Al-Qital, 38
Al-Fath, 29
Al-Hujurat, 18
Qaf, 45
Ad-Dzariyat, 60
At-Thur, 49
An-Najm, 62
Al-Qamar, 55
Ar-Rahman, 78
Al-Waqiah, 96
Al-Hadid, 29
Al-Mujadalah, 22
Al-Hasyr, 24
Al-Mumtahanah, 13
As-Shaf, 14
Al-Jumu`ah, 11
Al-Munafiqun, 11
At-Taghabun, 18
At-Thalaq, 12
At-Tahrim, 12
Al-Mulk / At-Tabarak, 30
Al-Qalaam, 52
Al-Haqqah, 52
Al-Ma`arij, 44
Nuh, 28
Al-Jinn, 28
Al-Muzzammil, 20
Al-Muddattsir, 56
Al-Qiyamah, 40
Al-Insan, 31
Al-Mursalat, 50
An-Naba`, 40
An-Naziat, 46
`Abasa, 42
At-Takwir, 29
Al-Infithar, 19
Al-Muthaffifin, 36
Al-Insyiqaq, 25
Al-Buruj, 22
At-Thariq, 17
Al-A`la, 19
Al-Ghasyiyah, 26
Al-Fajr, 30
Al-Balad, 20
As-Syams, 15
Al-Layl, 21
Ad-Dhuha, 11
Al-Insyirah, 8
At-Tin, 8
Al-`Alaq, 19
Al-Qadar, 5
Al-Bayyinah, 8
Al-Zilzalah, 8
Al-`Adiyat, 11
Al-Qari`ah, 10
At-Takatsur, 8
Al-Ashr, 3
Al-Humazah, 9
Al-Fil, 5
Al-Quraisy, 4
Al-Ma`un, 7
Al-Kautsar, 3
Al-Kafirun, 6
An-Nashr, 3
Al-Lahab, 5
Al-Ikhlas / At-Tauhid, 4
Al-Falaq, 5
An-Nas, 6

AL QURAN SANDARAN HIDUP

Al-Qur`an
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.
Tampilan Al-Qur`an unik, berupa prosa berirama, puisi epik, dan simfoni dalam keterpaduan teks yang indah. Ini membuat 6236 ayat di dalamnya dapat dihafalkan oleh jutaan orang. Cara pembacaan Al-Qur`an, dalam bentuk tajwid dan tartil, merupakan seni yang berkualitas tinggi.
Isi Al-Qur`an juga unik, berupa paduan filsafat semesta, catatan sejarah, peringatan-peringatan dan hiburan, dasar-dasar hukum, serta doa-doa. Hikmah pemaduan tema dalam Al-Qur`an antara lain untuk menjaga kita untuk mempelajari berbagai hal secara berimbang dan bertahap, seperti juga cara kita menghadapi alur hidup kita dan membentuk kepribadian kita sendiri.
Al-Qur`an diturunkan ke bumi dalam waktu 23 tahun melalui Nabi Muhammad (saw) dengan perantaraan malaikat Jibril. Ayat-ayatnya dikelompokkan atas 114 surat, yang selalu divalidasi oleh Rasulullah Muhammad saw sendiri. Namun urutan peletakkan suratnya bervariasi, dalam berbagai versi mushaf. Mushaf yang banyak digunakan saat ini adalah Mushaf Utsman, yang disusun zaman khalifah Utsman ibn Affan. Urutan surat-surat dalam mushaf ini, dan jumlah ayat-ayat di dalamnya adalah sbb:
Al-Fatihah / Ummul-Qur`an, 7
Al-Baqarah, 286
Ali Imran, 200
An-Nisa`, 176
Al-Maidah / Al-`Uqud, 120
Al-An`am, 165
Al-A`raf, 206
Al-Anfal, 75
At-Taubah / Bara`ah, 130
Yuunus, 109
Hud, 123
Yusuf, 111
Ra`d, 43
Ibrahim, 52
Hijr, 99
An-Nahl / An-Ni`am, 128
Bani Israil / Al-Isra`, 111
Al-Kahfi, 110
Maryam, 99
Thaha, 135
Al-Anbiya`, 112
Al-Hajj, 78
Al-Mu`minun, 85
An-Nuur, 64
Al-Furqan, 77
As-Syu`ara, 227
An-Naml, 93
Al-Qashash, 88
Al-Ankabut, 69
Ar-Rum, 60
Luqman, 34
As-Sajdah, 54
Al-Ahzab, 73
Saba`, 54
Fathir / Al-Malaikah, 45
Yasin, 83
As-Shaffat, 182
Shad, 88
Az-Zumar / Al-Ghuraf, 75
Al-Mu`min / Ghafir, 118
Fusshilat, 30
As-Syura`, 53
Az-Zukhruf, 89
Ad-Dukhan, 59
Al-Jatsiyah / As-Syari`ah, 37
Al-Ahqaf, 35
Muhammad / Al-Qital, 38
Al-Fath, 29
Al-Hujurat, 18
Qaf, 45
Ad-Dzariyat, 60
At-Thur, 49
An-Najm, 62
Al-Qamar, 55
Ar-Rahman, 78
Al-Waqiah, 96
Al-Hadid, 29
Al-Mujadalah, 22
Al-Hasyr, 24
Al-Mumtahanah, 13
As-Shaf, 14
Al-Jumu`ah, 11
Al-Munafiqun, 11
At-Taghabun, 18
At-Thalaq, 12
At-Tahrim, 12
Al-Mulk / At-Tabarak, 30
Al-Qalaam, 52
Al-Haqqah, 52
Al-Ma`arij, 44
Nuh, 28
Al-Jinn, 28
Al-Muzzammil, 20
Al-Muddattsir, 56
Al-Qiyamah, 40
Al-Insan, 31
Al-Mursalat, 50
An-Naba`, 40
An-Naziat, 46
`Abasa, 42
At-Takwir, 29
Al-Infithar, 19
Al-Muthaffifin, 36
Al-Insyiqaq, 25
Al-Buruj, 22
At-Thariq, 17
Al-A`la, 19
Al-Ghasyiyah, 26
Al-Fajr, 30
Al-Balad, 20
As-Syams, 15
Al-Layl, 21
Ad-Dhuha, 11
Al-Insyirah, 8
At-Tin, 8
Al-`Alaq, 19
Al-Qadar, 5
Al-Bayyinah, 8
Al-Zilzalah, 8
Al-`Adiyat, 11
Al-Qari`ah, 10
At-Takatsur, 8
Al-Ashr, 3
Al-Humazah, 9
Al-Fil, 5
Al-Quraisy, 4
Al-Ma`un, 7
Al-Kautsar, 3
Al-Kafirun, 6
An-Nashr, 3
Al-Lahab, 5
Al-Ikhlas / At-Tauhid, 4
Al-Falaq, 5
An-Nas, 6

Tuesday, June 27, 2006

FOTO UMRAH 5 - 12 JUNI 2006



Thursday, April 27, 2006

SUKSES MELALUI PIKIRAN

MERAIH SUKSES DAN BAHAGIA DALAM KEHIDUPAN


ANDA TERLAHIR BUAT SUKSES


Jalan menuju keberhasilan
Tidak ditapaki dengan tujuh langkah sekaligus, melainkan langkah demi langkah, sedikit demi sedikit, jengkal demi jengkal, itulah jalan menuju kekayaan, jalan menuju kebijaksanaan, jalan menuju kejayaan. Pangeran adalah putera Raja bukan Raja



TUJUAN SEJATI TUHAN


KEHIDUPAN YANG MELIMPAH
MENYENANGKAN
SEHAT
KREATIF
SEIMBANG


MENCAPAI KESADARAN KREATIF KEHIDUPAN


SIAPA SAYA
APA SAYA
KEMANA TUJUANNYA SAYA